Oleh : Lintang Kurnia Rahmah Caesary
Namaku Amelia Dyana. Aku akan
menceritakan beberapa pengalamanku yang
paling berkesan di sini. Pengalaman ini sejak
dulu hingga sekarang. Nah, kali ini aku akan memulai ceritanya dari kelas satu ya!
Hari
ini adalah hari kedua aku masuk ke sekolah. Hari pertama berjalan
lancar tanpa hambatan, selain perkenalan. Kenapa? Karena aku adalah orang yang pemalu. Aku
mengacak-acak semua isi kamarku. Hari ini, seluruh siswa baru disuruh memakai pin dari rumah. Karena masih
kecil dan
belum bisa berpikir terlalu jauh, aku
langsung berasumsi bahwa itu harus pin dari sekolah ku (padahal masih siswa baru, dan tidak
mungkin
siswa yang baru masuk dua hari sudah mendapatkan pin).
Rasa kesal yang meledak karena
tidak menemukan pin itu, akhirnya aku memanggil ayahku. Dengan sabar, ayah ikut
membantu mencari pin yang aku maksud. Detik ke detik telah berlalu. Pencarian itu
tak kunjung selesai, ayah langsung memberiku pin dari sekolahku saat TK. Dengan perasaan terpaksa,
aku memakai pin itu dengan perasaan yang sangat sedih.
Sesampainya di gerbang sekolah aku menangis, karena tidak memakai pin sesuai yang aku maksud. Bahkan aku hampir tidak mau masuk ke sekolah. Tetapi, ayah membujukku. Akhirnya aku mau masuk ke sekolah. Aku mau masuk ke kelas dan bertemu dengan teman-temanku yang sudah berada di depan kelas. Sama sepertiku dia juga memakai pin, tetapi pin yang dipakainya bertuliskan namanya dan bukan pin sekolah. Seketika aku lupa masalahku dan langsung menyapanya.
“ Hai, namamu Alya ya?” Tanyaku.
“Iya, kalau
kamu?”
Ucap Alya.
”Amelia, boleh panggil Lia atau Amel,” jawabku.
Alya adalah teman pertamaku di kelas 1.
*****
Tidak
terasa sudah enam bulan aku bersekolah di sini, setiap Senin seluruh siswa selalu melakukan upacara bendera. Diselas-sela
upacara, Kepala Sekolahku menyampaikan pengumuman untuk memberi sebuah informasi. Seketika itu
seluruh siswa diam dan mendengarkan pengumuman, yang berisikan tentang hasil lomba Olimpiade Sains Kuark (OSK). Karena belum beruntung, jadi dari sekolah kami belum ada siswa yang
berhasil masuk
ke babak final, tetapi ada juga berita yang
membanggakan, yaitu ada dua siswa yang mendapatkan
sertifikat dari perlombaan itu. Disitulah aku mulai
mengharap-kan mendapat juara saat Kepala Sekolah membacakan pengumuman itu. Juara harapan dua
diraih oleh kakak kelasku, Almera Devita, kelas 2. Seketika nyaliku menciut, aku berfikir. Juara harapan dua saja kakak kelas, mana bisa aku jadi
harapan satu. Saat pengunguman harapan satu, aku menunduk.
“Harapan satu
diraih oleh Amelia Dyana,” kata Kepala Sekolah sambil disauti tepuk tangan
seluruh siswa.
Jantungku berdegup begitu kencang, rasa
bahagia memenuhi hati ini. Aku maju ke depan
dengan senyum terpancar begitu lebar dari wajahku serta langkah yang penuh
dengan kebahagiaan. Tak lupa ku mengucap syukur apa yang telah aku dapatkan
dari hasil jerih payahku, serta doa yang setiap harinya aku panjatkan, dan juga
aku berterimakasi pada Ayah dan Ibu yang membantuku belajar Sains dari majalah
Kuark itu sendiri, atau film kesukaan ku yang menjelaskan sains dengan cara
yang seru, serta guru sainsku yang mengajariku tanpa lelah. Aku juga sangat
berterimakasih kepada OSK yang telah memberiku pengalaman.
******
Hari ini adalah hari yang ditakuti
santri kelas satu. Hari dimana kami akan
diimunisasi, dengan kata lain kami akan disuntik. Anak kelas
1 mana yang tidak takut disuntik? Jangankan
disuntik, melihat jarumnya saja membuat kami hampir menangis. Berbagai cara
kami lakukan untuk menghindar dari imunisasi. Mulai dari membujuk orang tua, pura pura sakit,
sampai tidak mau sekolah. Tetapi yang satu
ini membuat aku tidak bisa berubat apa-apa lagi selain pasrah dan mengikuti apa
yang dikatakannya “imunisasi itu penting, ke sekolah
atau tidak dapat uang jajan?” ya, siapa yang
tidak pasrah mendengar perkataan yang membuat aku serta teman-temanku tidak
mempunyai pilihan lain, hal itu adalah hal paling kami takuti yang masih duduk di bangku Sekolah
Dasar
(SD).
Keesokan harinya kami terpaksa masuk ke
sekolah dengan rasa takut yang mendalam
dan masih memikirkan alasan apalagi yang akan di utarakan sehingga membuat
orang tua kami mengizinkan untuk tidak masuk. Petugas dari puskesmas pun datang. Mereka membawa begitu
banyak botol berisi cairan yang aku tak tahu apa isinya.
Mungkin Jarum suntik, kapas dan lain lain.
Kami, anak kelas satu, mendapatkan
urutan pertama. Malangnya, perempuan
yang mendapatkan giliran yang pertama. Kami berebut menuju barisan paling belakang. Sampai pada
akhirnya ada anak yang mengajukan diri untuk disuntik
pertama. Aku melihat anak yang maju pertama itu menangis
tersedu - sedu. Aku semakin ketakutan. Terlebih aku urutan
ketiga dari kurang lebih 10 anak. Saat giliranku
tiba, seketika aku tidak berani melihat ke arah
jarum suntik, kurasa saat itu aku berdarah cukup banyak, karena jarumnya terasa
sangat sakit. Tetapi, setidaknya
aku tidak menangis saat diimunisasi. Selesai
imunisasi aku bergabung dengan teman – temanku yang lainnya yang sudah selesai
duluan diimunisasi, dan melihat nasib
malang teman – teman yang menunggu giliran diimunisasi. Kami
saling menunjukkan berapa banyak darah yang keluar (maklumlah masih kecil). Kini
giliran laki-laki maju, seolah – olah aku
menantikan reaksi apa yang akan mereka tunjukkan saat giliran mereka tiba, satu
persatu.
Ya, sudah aku duga. Ada yang menangis, ada yang tidak menunjukkan
reaksi apapun, ada yang berteriak – teriak, bahkan lebih parah dari itu ada kejadian paling seru dan lucu adalah
saat giliran Hida akan disuntik, dia sangat
takut, sehingga dia memilih untuk kabur, bahkan lucunya lagi dia sampai keluar gerbang
sekolah, beberapa Ustaz dan Ustazah sampai mengejarnya ke
luar gerbang. Bahkan
beberapa teman – teman sampai ikut menyusul
Hida.
******
Hari ini aku pergi ke sekolah diantar
oleh ibu. Kali ini ayah tidak bisa mengantarku, karena
harus berangkat pagi buta ke tempat kerjanya. Terlihat waktu
menunjukkan pukul 06.45 WIB,
lantas
yang membuat aku
terburu-buru menghabiskan sarapanku dan segera bersiap. Maklum, aku tadi bangun
kesiangan jandinya harus tergesa-gesa begini. Saat
sudah siap, aku memanggil Ibuku.
“Bu, ayo cepat, nanti kalau telat dihukum disuruh membaca Ikrar santri sendiri,” kataku.
“Tidak usah terburu-buru kak, pelajaranmu
loh baru mulai pukul 07.30 WIB,” jawaban
ibu yang membuatku tersontak.
“Tapi itu pelajaran nya! Bukan masuknya ibu,” jawabku sedikit kesal.
Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah.
Tetapi Ibu sudah berjanji akan mengantarku pukul 07.15 WIB. Sambil menunggu, aku terus memasang wajah cemberut. Setelah sekian
menit aku menunggu ibu, akhirnya aku diantar ibu. Tak hanya itu. Aku menyuruh
ibu bergegas mengantarku ke sekolah,
agar aku tidak terlambat dan biar tidak ketinggalan pelajaran yang akan dimulai
beberapa menit lagi. Bahkan aku sampai membuat ibu jengkel karena terus mengoceh
tidak jelas. Padahal, aku hanya tidak
mau telat. Itu saja.
Sesampai aku di sekolah prediksi ku benar. Aku
dihukum membaca Ikrar lagi, untung tidak hanya
aku saja yang dihukum. Ada
beberapa kakak kelas dan seorang teman sekelasku yang bernama Zakky yang juga dihukum sama sepertiku. Tetapi tetap saja, itu menjadi
catatan terlambat kali pertama waktu aku masih menjadi adik kelas. Gara - gara
Ibu sih, tidak percaya kalau aku datang paling lambat pukul 07.00 WIB. Ah, sudahlah tidak
apa-apa. Sekali-kali telat. Hehehe…..
0 komentar:
Post a Comment